Pages

HUKUM BERBURUK SANGKA DAN MENCARI-CARI KESALAHAN



Oleh
Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr


RIFQON AHLASSUNNAH BI AHLISSUNNAH [Menyikapi Fenomena TAHDZIR & HAJR]


Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Al-Hujurat : 12]

Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan-kesalahan atau kejelekan-kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]

Komentar saya : “Alangkah baiknya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah yang terkenal cerdas itu. Dan jawaban di atas salah satu contoh dari kecerdasan beliau”.

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.


[Disalin dari buku Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Penulis Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al’Abbad Al-Badr hal 17-21, Terbitan Titian Hidayah Ilahi]

Kisah sedih bilal..


Suatu malam, jauh sepeninggal Rasulullah, Bilal bin Rabbah, salah seorang sahabat utama, bermimpi dalam tidurnya. Dalam mimpinya itu, Bilal bertemu dengan Rasulullah.
 
"Bilal, sudah lama kita berpisah, aku rindu sekali kepadamu," demikian Rasulullah berkata dalam mimpi Bilal.
 
"Ya, Rasulullah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harum
aroma tubuhmu," kata Bilal masih dalam mimpinya. Setelah itu, mimpi tersebut berakhir begitu saja. Dan Bilal bangun dari tidurnya dengan hati yang gulana. Ia dirundung rindu.


 
Keesokan harinya, ia menceritakan mimpi tersebut pada salah seorang sahabat lainnya. Seperti udara, kisah mimpi Bilal segera memenuhi ruangan kosong di hampir seluruh penjuru kota Madinah. Tak menunggu senja, hampir seluruh penduduk Madinah tahu, semalam Bilal bermimpi ketemu dengan nabi junjungannya.

 
Hari itu, Madinah benar-benar terbungkus rasa haru. Kenangan semasa Rasulullah masih bersama mereka kembali hadir, seakan baru kemarin saja Rasulullah tiada. Satu persatu dari mereka sibuk sendiri dengan kenangannya bersama manusia mulia itu. Dan Bilal sama seperti mereka, diharu biru oleh kenangan dengan nabi tercinta.
 
Menjelang senja, penduduk Madinah seolah bersepakat meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib jika tiba waktunya. Padahal Bilal sudah cukup lama tidak menjadi muadzin sejak Rasulullah tiada. Seolah, penduduk Madinah ingin menggenapkan kenangannya hari itu dengan mendengar adzan yang dikumandangkan Bilal.
 
Akhirnya, setelah diminta dengan sedikit memaksa, Bilal pun menerima dan bersedia menjadi muadzin kali itu. Senjapun datang mengantar malam, dan Bilal  mengumandangkan adzan.
 
Tatkala, suara Bilal terdengar, seketika, Madinah seolah tercekat oleh berjuta memori. Tak terasa hampir semua penduduk Madinah meneteskan air mata. "Marhaban ya
Rasulullah," bisik salah seorang dari mereka.
 
Sebenarnya, ada sebuah kisah yang membuat Bilal menolak untuk mengumandangkan adzan setelah Rasulullah wafat.
 
Waktu itu, beberapa saat setelah malaikat maut menjemput kekasih Allah, Muhammad, Bilal mengumandangkan adzan. Jenazah Rasulullah, belum dimakam-kan. Satu persatu kalimat adzan dikumandangkan sampai pada kalimat, "Asyhadu anna Muhammadarrasulullah."
 
Tangis penduduk Madinah yang mengantar jenazah Rasulullah pecah. Seperti suara guntur yang hendak membelah langit Madinah.
Kemudian setelah, Rasulullah telah dimakamkan, Abu Bakar meminta Bilal untuk
adzan. "Adzanlah wahai Bilal," perintah Abu Bakar.
 
Dan Bilal menjawab perintah itu, "Jika engkau dulu membebaskan demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku."
 
"Hanya demi Allah aku membebaskanmu Bilal," kata Abu Bakar.
 
"Maka biarkan aku memilih pilihanku," pinta Bilal.
 
"Sungguh, aku tak ingin adzan untuk seorang pun sepeninggal Rasulullah," lanjut Bilal.
 
"Kalau demikian, terserah apa maumu," jawab Abu Bakar.
 
***
 
Di atas, adalah sepenggal kisah tentang Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah. Seperti yang kita tahu, Bilal adalah seorang keturunan Afrika, Habasyah tepatnya. Kini Habasyah biasa kita sebut dengan Ethiopia.
 
Seperti penampilan orang Afrika pada umumnya, hitam, tinggi dan besar, begitulah Bilal. Pada mulanya, ia adalah budak seorang bangsawan Makkah, Umayyah bin Khalaf. Meski Bilal adalah lelaki dengan kulit hitam pekat, namun hatinya, insya Allah bak kapas yang tak bernoda. Itulah sebabnya, ia sangat mudah menerima hidayah saat Rasulullah berdakwah.
 
Meski ia sangat mudah menerima hidayah, ternyata ia menjadi salah seorang dari sekian banyak sahabat Rasulullah yang berjuang mempertahankan hidayahnya. Antara hidup dan mati, begitu kira-kira gambaran perjuangan Bilal bin Rabab.
 
Keislamannya, suatu hari diketahui oleh sang majikan. Sebagai ganjarannya, Bilal di siksa dengan berbagai cara. Sampai datang padanya Abu Bakar yang membebaskannya dengan sejumlah Wang tebusan.
 
Bisa dikata, di antara para sahabat, Bilal bin Rabah termasuk orang yang pilih tanding dalam mempertahankan agamanya. Zurr bin Hubaisy, suatu ketika berkata, orang yang pertama kali menampak-kan keislamannya adalah Rasulullah. Kemudian setelah beliau, ada Abu Bakar, Ammar bin Yasir dan keluarganya, Shuhaib, Bilal dan Miqdad.
 
Selain Allah tentunya, Rasulullah dilindungi oleh paman beliau. Dan Abu Bakar dilindungi pula oleh sukunya. Dalam posisi sosial, orang paling lemah saat itu adalah Bilal. Ia seorang perantauan, budak belian pula, tak ada yang membela. Bilal, hidup sebatang kara. Tapi itu tidak membuatnya merasa lemah atau tak berdaya. Bilal telah mengangkat Allah sebagai penolong dan walin-ya, itu lebih cukup dari segalanya.
 
Derita yang ditanggung Bilal bukan alang kepalang. Umayyah bin Khalaf, sang majikan, tak berhenti hanya dengan menyiksa Bilal saja. Setelah puas hatinya menyiksa Bilal, Umayyah pun menyerahkan Bilal pada pemuda-pemuda kafir berandalan. Diarak berkeliling kota dengan berbagai siksaan sepanjang jalan. Tapi dengan tegarnya, Bilal mengucap, "Ahad, ahad," puluhan kali dari bibirnya yang mengeluarkan darah.
 
Bilal bin Rabah, meski dalam strata sosial posisinya sangat lemah, tapi tidak di mata Allah. Ada satu riwayat yang membukti-kan betapa Allah memberikan kedudukan yang mulai di sisi-Nya.
 
Suatu hari Rasulullah memanggil Bilal untuk menghadap. Rasulullah ingin mengetahui langsung, amal kebajikan apa yang menjadikan Bilal mendahului berjalan masuk surga ketimbang Rasulullah.
 
"Wahai Bilal, aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku di dalam surga. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu."
 
Dengan wajah tersipu tapi tak bisa menyembunyikan raut bahagianya, Bilal menjawab pertanyaan Rasulullah. "Ya Rasulullah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu
dan shalat sunnah dua rakaat."
 
"Ya, dengan itu kamu mendahului aku," kata Rasulullah membenarkan. Subhanallah, demikian tinggi derajat Bilal bin Rabah di sisi Allah. Meski demikian, hal itu tak menjadikan Bilal tinggi hati dan merasa lebih suci ketimbang yang lain. Dalam lubuk hati
kecilnya, Bilal masih menganggap, bahwa ia adalah budak belian dari HabasyaEthiopia. Tak kurang dan tak lebih.
 
Bilal bin Rabah, terakhir melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu, Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Saat itu, waktu shalat telah tiba dan Umar meminta Bilal untuk
mengumandangkan adzan sebagai tanda panggilan shalat. Bilal pun naik ke atas
menara dan bergemalah suaranya.
 
Semua sahabat Rasulullah, yang ada di sana menangis tak terkecuali. Dan di antara mereka, tangis yang paling kencang dan keras adalah tangis Umar bin Khattab. Dan itu, menjadi adzan terakhir yang dikumandangan Bilal, hatinya tak kuasa menahan kenangan manis bersama manusia tercinta, nabi akhir zaman.
sumber:
http://groups.yahoo.com/group/mymasjid/message/6142

Kewajiban Memohon Perlindungan dari 4 perkara


Kewajiban Memohon Perlindungan dari 4 perkara

Nabi SAW bersabda,
”Bila seseorang selesai membaca tasyahhud (akhir), hendaklah ia memohon perlindungan kepada Allah dari 4 perkara.
Yaitu ’Allahumma innii a’uudzubika min ’adzaab jahannam
wamin ’adzaabil qobri,
wamin fitnatil mahyaa wal mamaat,
wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal’
(Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari siksa neraka Jahannam,
dari siksa kubur,
dari fitnah hidup dan mati,
dari fitnah Dajjal’.
Selanjutnya hendaklah ia berdo’a memohon kebaikan untuk dirinya sesuai kepentingannya”. (HR. Muslim, Abu Uwanah, dan Nasa’i).

Menurut Abu Daud dan Ahmad, Nabi SAW biasa membaca do’a tersebut dalam tasyahhudnya.


Nabi SAW mengajarkan do’a tersebut kepada para sahabatnya seperti Beliau SAW mengajarkansurah Al-Qur’an kepada mereka.

Suapan Rasulullah kpda pengmis yahudi..


 tingginya akhlak Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam untuk dijadikan contoh tauladan. Mungkin kisah ini sering anda dengar, akan tetapi tidak ada salahnya  menceritakan kembali.
Alkisah, hiduplah di sudut pasar Madinah Al-Munawarah seorang pengemis Yahudi buta, hari demi hari ia lalui dengan selalu berkata “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya”.
Setiap pagi Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam melakukannya hingga menjelang Baginda Sallallahu’alaihi wasallam wafat. Setelah kewafatan Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta tersebut.
Suatu hari Abu Bakar, Radi-Allahu anhu, as-Siddiq berkunjung ke rumah anaknya Aisyah Radi-Allahu anha. Beliau bertanya kepada anaknya, “anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan”, Aisyah Radi-Allahu anha menjawab pertanyaan ayahandanya, “Wahai ayah engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja”. “Apakah itu wahai anakku?”,tanya Abu Bakar Radi-Allahu anhu. Maka Aisyah Radi-Allahu anha menjawap, “Setiap pagi Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam selalu pergi ke hujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi yang buta yang berada di sana”, kata Aisyah Radi-Allahu anha.
Keesokan harinya, Abu Bakar Radi-Allahu anhu membawakan makanan dan menemui pengemis Yahudi buta tersebut. Pengemis Yahudi buta ini selalu berteriak-teriak dan berkata kepada orang yang mendekatinya. Abu Bakar Radi-Allahu anhu pun hairan, kenapa Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam memberi makan kepada orang yang menghinanya setiap hari.
“Wahai saudaraku..janganlah kalian mendekati Muhammad. Jangan sampai kalian terpedaya dengan tipu dayanya. Dia itu orang gila. Tukang sihir. Suka menyebarkan fitnah dengan agama barunya..!!” Kata-kata ini selalu meluncur dari mulutnya tiada henti setiap hari. Perkataan yang buruk yang merendahkan seorang nabi.
Sampai sahaja Abu Bakar Radi-Allahu anhu di hadapan pengemis itu lantas memberikan makanan, pengemis itu mengherdik, “Siapa kau..!!” “Aku adalah orang yang setiap hari memberi makan kamu..”
Abu Bakar Radi-Allahu anhu meyakinkan bahawa beliau adalah orang yang setiap hari memberikan ia makanan. Akan tetapi pengemis Yahudi buta itu tidak percaya kerana orang yang selalu memberinya makanan jauh lebih lembut dan lebih sabar dalam menyuapinya.
“Bukan..kamu bukan orang yang setiap hari memberiku makan..! Apabila dia kesini, aku tidak pernah kesusahan memegang makananku, aku juga tidak susah untuk memakannya bahkan dia telah meluembutkan makananku sebelum masuk ke mulutku..”
Dengan linangan air mata kerana terharu mendengar akhlak dari Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam. Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam selalu memberi makan dan menyuapi mulut dari orang yang setiap hari kata dari mulut itu hanyalah ucapan kotor dan hina yang merendahkan dan melecehkan diri-Nya. Ucapan kotor dan umpatan dibalas dengan suapan makanan dengan kasih sayang. Allahu Akhbar!

Kemudian Abu Bakar Radi-Allahu anhu menjawab “Aku memang bukan orang yang setiap hari memberimu makan. Akan tetapi, Beliau tidak akan datang lagi ke sini untuk memberimu makan..”
Mendengar hal itu, pengemis itu menangis dan berkata. “Apa salahku sehingga dia sudah tidak mahu menemuiku lagi? Sampaikan permintaan maafku sehingga dia mahu mendatangiku lagi..”
“Beliau sudah meninggalkan dunia ini dan akulah yang akan menggantikan Beliau. Aku adalah Abu Bakar Radi-Allahu anhu sahabat Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam. Nabi Muhammad Sallallahu’alaihi wasallam adalah orang yang setiap hari menyuapimu..”
Seketika itu juga linangan air mata pengemis Yahudi buta makin deras membasahi pipinya lantas dia menyesal kerana orang yang selama ini diumpat dan dilecehkan harga dirinya adalah orang yang setiap hari dengan sabar menyuapinya. Saat itu juga, pengemis itu mengucapkan dua kalimat Syahadah dan masuk Islam di hadapan Abu Bakar Radi-Allahu anhu.
Dari cerita ini, jelas sudah betapa tingginya akhlak Nabi Sallallahu’alaihi wasallam. Beliau tidak pernah membenci orang yang mengumpatnya. Bahkan Nabi Sallallahu’alaihi wasallam tidak pernah membenci orang Yahudi atau Nasrani.

Tidak seperti sekarang, sesama orang Islam pun saling hentam-menghentam hanya untuk mempertahankan pendapatnya. Merasa dirinya benar. Melakukan kebaikan dengan cara yang buruk. Seperti orang-orang Islam sekarang yang sama sekali tidak mencermikan akhlak Nabi Sallallahu’alaihi wasallam..

Saat Harus Berbicara


Saat Harus Berbicara

Para ulama salaf, telah banyak menyimpan pelajaran yang berharga yang tak mungkin diterlantarkan begitu saja. Terlalu merugi untuk tidak membuka dan menelaah ulang lembaran kehidupan yang terhampar itu.
Tak ada tempat belajar tentang sosok-sosok mulia melebihi pelajaran mahal dari mereka. Pelajaran tentang jalan meretas kehidupan indah, dunia dan akhirat. Salah satu pelajaran dari mereka itu adalah saat-saat di mana kita akan menggunakan lisan kita.

Lisan, karunia Alah yang sangat berharga, bentuknya memang relatif kecil bila dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain, namun ternyata memiliki peran yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Lisan merupakan bagian tubuh yang paling banyak digunakan dalam keseharian kita.

Celaka dan bahagia ternyata tak lepas dari bagaimana manusia memosisikan organ kecil tersebut. Bila lidah tak terkendali, dibiarkan berucap sekehendaknya, alamat kesengsaraan akan segera menjelang. Sebaliknya bila ia terkelola baik, hemat dalam berkata, dan memilih perkataan yang baik-baik, maka sebuah alamat akan datangnya banyak kebaikan. Menjadi nilai ibadah di sisi-Nya.

Allah  menyerukan umat manusia untuk berkata baik dan menghindari perkataan buruk. Allah Subhaanahu Wata'ala berfirman, artinya:

“Dan katakan kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (QS. Al Isra’: 53).

”Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS. An-Nahl: 125).

Banyak orang merasa bangga dengan kemampuan lisannya yang begitu fasih berbicara. Bahkan tak sedikit orang yang belajar khusus agar memiliki kemampuan bicara yang bagus. Lagi-lagi, lisan memang karunia Allah yang demikian besar. Dan ia harus selalu disyukuri dengan sebenar-benarnya. Caranya tentu dengan menggunakan lisan untuk bicara yang baik bukan dengan mengumbar pembicaraan semau sendiri.

Apa yang dihasilkan  dari lisan manusia memiliki implikasi yang sangat luas terhadap dirinya dan orang lain. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melukiskan lisan dan hati sebagai kekayaan yang sangat berharga.

Tsauban Radhiyallahu 'Anhu menceritakan ketika ayat 34 surat at-Taubah (”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak”) turun, kami sedang dalam suatu perjalanan. Kemudian beberapa orang sahabat berkata, ”Ayat tersebut turun berkenaan dengan emas dan perak. Seandainya kami tahu harta yang paling baik, tentu kami akan menyimpannya.” 

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam kemudian bersabda,
”Harta yang paling baik adalah lisan yang selalu berzikir, hati yang selalu bersyukur, dan isteri yang beriman yang membantu suaminya dalam merealisasikan keimanannya.”

(HR. A t-Tirmidzi).
 

Nilai strategis lisan dalam kehidupan manusia tampak pada ungkapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam ketika beliau menjawab pertanyaan Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'Anhu. Dalam satu riwayat Uqbah Radhiyallahu 'Anhu berkata,

”Aku bertanya, ”Wahai, Rasulullah! Apakah jalan keselamatan? Beliau menjawab, ”Tahanlah lidahmu, berdiamlah di rumahmu, dan tangisilah kesalahanmu.” (HR. At-Tirmidzi).

Rentetan kata demi kata yang mengucur dari lisan seseorang, implikasi dan pengaruhnya bisa melebihi kapasitas dirinya dan zamannya. Akan menggema dan dapat memantul di semua benua. Banyak ungkapan yang lahir dari lisan seseorang memiliki nilai abadi. Bukankah nasihat dan dakwah para ulama salaf kita didominasi oleh peran lisan?

Tetapi sebaliknya, segalanya menjadi alamat petaka bila tak tertuntun. Lisan bisa berefek ganda dan luar biasa pengaruhnya terhadap kehidupan ini. Terkadang ia dapat meluncurkan sejumlah kebaikan dan kemanfaatan yang luas bagi siapa yang menjaganya dengan baik dan mempergunakannya sebagaimana diharapkan syari’at. Sebaliknya, lisan juga dapat meluncurkan sejumlah kejelekan yang membahayakan dirinya dan orang lain bagi siapa yang menggunakannya dengan tanpa pertimbangan.

Berapa banyak hati menjadi tercerai-berai karenanya? Berapa banyak darah tertumpah habis karenanya? Sebagaimana telah banyak hati dan perasaan terluka karenanya.
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا ، يَزِلُّ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memperhatikannya—tidak memikirkan akibatnya—ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara timur dan barat.
” (HR. Bukhari).

Bahaya lisan yang tidak dikendalikan oleh norma dan tuntunan syariat bisa menyeret seseorang ke jurang kebinasaan. Untuk itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menasihati agar menjaga lidah dengan baik. Beliau menganjurkan kita untuk diam ketika bukan perkataan baik yang akan terucap.
|
“Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat maka berkatalah yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Karena ketajaman lidah memang sangatlah berbahaya, bahkan dosa bisa membiak dan beranak pinak dari lisan. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya kebanyakan dosa anak Adam berada pada lidahnya.” (HR. Al- Thabrani, Ibnu Abi Dunya, dan Al Baihaqi).

Atas dasar itu kita dapat memahami nilai keutamaan menjaga lidah yang diajarkan oleh para salaf, tentang sikap waqqof (berhati-hati dalam berucap).

Tersebutlah Umar bin Abdul Aziz—rahimahullah—pernah menulis surat yang isinya sebagai berikut, “Amma ba’d. Sesungguhnya orang yang banyak mengingat kematian, ia akan senang dengan bagian dunia yang sedikit; orang yang menganggap bicaranya itu termasuk amal perbuatannya, ia akan sedikit berbicara, kecuali dalam hal yang akan  membawa kebaikan buat dirinya.Wassalam.”

Begitu pula ketika seorang lelaki yang datang menemui Salman al-Farisi Radhiyallahu 'Anhu, lalu berkata kepadanya, “Berikanlah aku nasihat .” Beliau berkata, “Jangan bicara.” Sang penanya kemudian berujar, “Orang yang hidup di tengah manusia, mana bisa tidak berbicara?” Beliau menanggapi, “Kalaupun Anda hendak berbicara, berbicaralah yang benar, atau diam.” Lelaki itu berkata lagi, Tolong tambahkan yang lain.” Beliau berkata, “Jangan marah.” Lelaki itu berkomentar, “Kalau tidak bisa menahan diri, terkadang aku tidak sadar.” Beliau berkata menanggapi, “Kalau begitu, bila engkau marah, jaga lidah dan tanganmu.” “Tambahkan lagi”, lelaki itu meminta. Beliau berkata, “Jangan campuri urusan orang lain.” “Orang yang hidup bersama orang banyak, tak mungkn tidak mencampuri urusan orang lain,” sanggahnya. Beliau berkata, “Kalau engkau harus mencampuri urusan orang lain, katakan perkataan yang benar, dan tunaikan amanah kepada yang berhak.”

Suatu saat, Umar Radhiyallahu 'Anhu menemui Abu Bakr ash-Shiddiq Radhiyallahu 'Anhu yang sedang menarik lidahnya. Maka, Umar  heran dengan tingkah ‘aneh’ sahabatnya ini. Lalu berkata Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, “Sesungguhnya (lidah) ini telah membawaku pada sejelek-jelek perkataan.”

Duhai, jika saja Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu, manusia termulia di kalangan sahabat masih risau dengan lisannya, maka kitalah yang lebih pantas memiliki risau yang sangat itu.

Begitulah, mereka yang telah mendahului kita dalam kebaikan agama ini, amat tidak menyukai perkataan yang tidak berguna. Mereka menilai suatu ucapan sebagai ucapan yang tidak berguna apabila bukan Kitabullah (Al Quran), bukan mempelajari Kitabullah, bukan untuk beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan bukan untuk membicarakan hal yang menyangkut kebutuhan hidup.

Pembaca yang budiman, apakah Anda mengingkari bahwa Anda dijaga para malaikat yang mulia yang akan mencatat amal perbuatan, di kiri dan kanan Anda?

Setiap kata yang terlontar dari bibir Anda pasti akan dicatat oleh malaikat yang Raqib dan Atid. Apakah kita tidak malu apabila catatan amal kita yang diisi di penghujung waktu siang , yang sesungguhnya sebagian besar di antaranya ternyata bukanlah termasuk urusan agama maupun dunia yang bermanfaat bagi kita?”

Lidah yang tersibukkan dengan aib orang lain, bisa jadi aib tersebut juga ada pada kita. Pikirkan, apa yang akan dilakukan Rabb terhadap kita bila menggunjing sesama Muslim dengan suatu yang juga sebenarnya ada pada diri kita? Dan boleh jadi aib kita ternyata lebih besar.

Memang tak mudah, sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin Iyadh—rahimahullah—bahwa sikap wara’ yang paling berat dilakukan adalah memelihara lidah. Namun, dengan taufiq Allah yang diikuti rasa takut terhadap balasan dan siksa-Nya, segalanya bisa terjadi.

Terakhir, tulisan ini tidaklah bermaksud memangkas semangat Anda untuk mendakwahkan untaian-untaian kata dari lisan Anda. Sama sekali tidak. Lisan itu sendiri tidaklah bersalah. Yang salah adalah ketika digunakan bermaksiat ataukah dalam aktivitas dakwah Anda ia hanya terhenti pada jejak-jejak kata yang tidak Anda terjemahkan dalam bentuk konkrit, dalam bentuk amal. Dan seperti itulah sejatinya.
 

Wallahul Waliyyu At Taufiq.
Abu Zubair Marzuki Umar (Al Fikrah No.21/Tahun X/Radjab 1430 H) id.

Sebab-sebab Batal Wudhu’

Kategori : TOHARAH Air Sembahyang  
Tajuk :
Sebab-sebab Batal Wudhu’
Hadith :
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW pernah bersabda: ”Solat orang yang berhadas (keluar air kencing, membuang air besar dan kentut) tidak diterima (Allah) sebelum dia berwudhu.” Seorang yang berasal dari Hadramaut bertanya kepada Abu Hurairah: “Apakah hadas itu?” Abu Hurairah menjawab:” Hadas itu ertinya angin yang keluar dari lubang anus.”
 
(al-Bukhari) 
 
Sumber : Jabatan Kemajuan Islam Malaysia
 
 
Huraian
Seseorang yang mahu mengerjakan solat wajib berwudhu’. Terdapat 5 perkara yang membatalkan wudhu’ iaitu:
• Apabila terkeluar sesuatu dari dua jalan sama ada melalui qubul atau dubur (hadas kecil)
• Tidur yang tidak tetap punggungnya, tetapi jika tidur dengan mengiring maka tidak batal wudhu’.
• Hilang akal dengan sebab mabuk atau sakit.
• Bersentuh kulit lelaki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa alas atau lapik.
• Tersentuh kemaluan hadapan atau sekitar kawasan punggung lelaki, wanita atau dirinya sendiri tanpa alas. Tetapi jika tersentuh dengan belakang tapak tangan maka hukumnya tidak batal.
Selain itu terdapat 11 perkara yang membatalkan Solat :
• Meninggalkan salah satu rukun solat
• Berhadas kecil atau besar
• Makan atau minum
• Terkena najis pada badan, pakaian dan tempat solat
• Melakukan pergerakan pada anggota yang besar tiga kali berturut-turut
• Berkata-kata
• Berpaling dada daripada arah kiblat
• Ketawa dengan mengeluarkan suara
• Terbuka aurat dengan sengaja
• Berubah niat
• Murtad

Ulasan karakter berdasarkan bulan kelahiran (kalendar masihi & hijri)

Saya mempunyai satu kemusykilan. Jika mempercayai horoskop adalah dilarang, bagaimana pula dengan karakter seseorang individu yang diulas berdasarkan tarikh lahirnya atau bulan kelahirannya (berpandukan kalendar masihi dan/atau hijri)?

Berdasarkan pemahaman saya, horoskop adalah ramalan yg dibuat on daily/monthly basis. Mungkin di sinilah titik perbezaan antara horoskop dan ulasan karakter yang saya nyatakan seperti di atas (kerana ulasan mengikut bulan kelahiran tidak berubah-ubah).
Saya berminat untuk mengutarakan persoalan ini kerana semasa di sekolah dahulu, badan agama ada menerbitkan majalah yang mana antara isi kandungannya adalah ulasan karakter mengikut bulan kelahiran (masihi).

Akhir-akhir ini pula, saya bertemu kes di mana terdapat individu yang menghukum /mengiyakan apa yang berlaku terhadap individu tertentu (pada masa sekarang) berdasarkan ciri-ciri yang dinyatakan dalam ulasan karakter mengikut bulan hijri.

Misalnya, dinyatakan A lahir dalam bulan beta adalah seorang yang jika jahat, adalah terlalu jahat dan jika baik, adalah terlalu baik. Maka individu B menjustifikasikan sikap A pada masa sekarang yang teramat baik adalah bertepatan dengan ulasan yang dibacanya itu.
Jazakumullahu khair.

Jawapan:


Mengetahui karakter seseorang melalui tarikh lahir adalah bercanggah dengan ajaran al-Quran dan hadis nabi saw seperti yang telah dijelaskan oleh para ulama. Antara hujah yang digunakan ialah:

1) Maksud firman Allah swt: Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. Al-Naml – 65

2) Maksud firman Allah swt: Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. dan sekiranya Aku mengetahui yang ghaib, tentulah Aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan Aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. Al-A`raf-188

3) Sabda Nabi saw:
“من أتى عرافا فسأله عن شئ لم تقبل له صلاة أربعين ليلة” رواه مسلم عن بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم.
Maksudnya: Sesiapa yang berjumpa dengan tukang tilik lalu bertanya tentang sesuatu tidak diterima solatnya 40 hari (Riwayat Muslim)

4) Sabda Nabi saw:
” من أتى عرافا أو ساحرًا أو كاهنا، يؤمن بما يقول، فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم” رواه الطبراني عن ابن مسعود ورجاله ثقات.
Maksudnya: Sesiapa yang  berjumpa dengan tukang tilik atau ahli sihir atau ahli agama bukan Islam lalu beriman dengan tilikannya sesungguhnya ia telah kufur dengan apa yang diturunkan  kepada nabi Muhammad s.a.w. (Riwayat at-Tabarani daripada Ibnu Mas’ud dan perawinya adalah thiqah).

Pemikiran mengaitkan nasib manusia  mengikut tarikh lahir mereka adalah  pemikiran jahiliyyah tidak disokong oleh nas dan aqal, tidak diasaskan oleh agama dan ilmu pengetahuan. Satu persoalan yang  amat basic dalam pemikiran kita ialah: Kita tidak  boleh memilih tarikh lahir kita sendiri.

Kenapa fenomena ini tersebar:
1-    kekosongan akal dan jiwa manusia yang tidak dipenuhi. Kekosongan ini diambil alih oleh kebatilan seperti kata hikmah: sesiapa yang tidak memenuhi jiwanya dengan kebenaran ia akan dipenuhi oleh kebatilan.

2-    Keresahan jiwa dan ketiadaan rasa ketenangan dalaman. Penyakit yang melanda dunia hari ini. Padahal umat Islam memiliki keimanan, kerana Ketenangan bersama dengan keimanan dan zikir.

3-    Kelemahan kesedaran beragama yang sebenar.

Rujukan: Islam Online
Sekian

Ust Razali Musa
Ahli Panel MUIS

Hukum melakukan rebonding..

Assalamualaikum ustaz,

Apa hukum melakukan 'rebonding' bagi wanita bertudung (untuk kekemasan diri) yang sememangnya tidak bertujuan untuk menarik perhatian bukan muhrim?
wallahua'lam

Jawapan:
 

الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى

Merujuk kepada makna asal perkataan rebonding adalah meluruskan semula rambut. Namun perkataan tersebut digunakan juga dengan makna “kerinting” rambut. Secara umumnya, tiada nas yang spesifik menyentuh mengenai larangan atau keharusan meluruskan atau mengkerintingkan rambut. Bagi mereka yang berpendapat hukum rebonding haram berhujah bahawa amalan tersebut termasuk dalam erti kata mengubah kejadian asal yang diciptakan Allah. Hal ini bersandarkan hadis yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata:
“Allah ‘Azza Wa Jalla melaknat orang yang mentatu dan yang meminta ditatukan, yang mencukur alisnya (bulu kening) dan menjarangkan giginya untuk kecantikan, yang mengubah ciptaan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagi mereka yang mengharuskan rebonding berhujah bahawa larangan dalam hadis tersebut bermaksud mengubah struktur dan fungsi ciptaan Allah secara kekal. Manakala rebonding bukan mengubah struktur dan fungsinya yang asal malah masih dalam konteks tidak kekal dan sangat berkait dengan kaedah dan tata cara menguruskan rambut. Lebih-lebih lagi dalam konteks berhias kepada suaminya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas pernah berkata:
“Sesungguhnya aku berhias untuk isteriku sebagaimana aku suka dia berhias untukku. Sebagaimana aku suka menuntut semua hakku daripadanya, aku juga menyempurnakan semua haknya daripadaku“.
Pada hemat saya, untuk menentukan sama ada amalan tersebut termasuk diharuskan atau sebaliknya beberapa aspek perlu diteliti;

1. Niat dan tujuan
Sekiranya bertujuan untuk kecantikan diri, ianya masih dalam ruang lingkup perkara yang diharuskan lebih-lebih lagi berhias untuk suami. Sabda nabi saw yang bermaksud : “Sesungguhnya Allah itu cantik dan sukakan kecantikan“. Namun dalam waktu yang sama kita perlu mengakui hakikat di sebalik hikmat Allah menciptakan manusia dalam pelbagai bentuk dan rupa wajah dan kita diciptakan dengan secantik kejadian. Maka jika tujuannya untuk berhias di luar rumah maka sudah pasti hukumnya adalah haram.

2. Bahan yang digunakan
Bahan yang digunakan mestilah suci dan bersih dari sudut syara`. Ini bermaksud jika bahan yang digunakan terdiri daripada bahan kimia, maka pengesahan status halalnya perlu dirujuk kepada pihak berwajib. Begitu juga dari sudut kalis air atau sebaliknya. Hal ini perlu dipertimbangkan kerana ia melibatkan hukum mandi wajib dan berwudhuk iaitu memerlukan rambut tersebut dibasahkan. Ini beerti jika bahan kimia tersebut kalis air maka hukumnya haram sekalipun suci dan bersih.

3. Siapa yang melakukan proses rebonding?
Proses rebonding tersebut hendaklah dilakukan oleh rakan sejantina. Dengan itu tidak harus jika yang melakukan rebonding tersebut seorang lelaki sekalipun ditemani oleh suaminya kerana perbuatan tersebut telah mendedahkan aurat kepada orang yang diharamkan melihat auratnya. Persoalan lain juga yang harus difikirkan mengenai hukum mendedahkan aurat kepada wanita bukan Islam dalam keadaan yang bukan diperlukan atau “ dharuri”.

4. Kesan
Antara perkara yang perlu dipertimbangkan, adalah kesan langsung atau sampingan akibat melakukan rebonding. Secara ikhlas, saya tiada mempunyai maklumat mendalam mengenai kesan sampingan penggunaan bahan kimia berkenaan. Tetapi secara prinsipnya, jika penggunaan tersebut memberi kesan negatif sama ada secara langsung atau jangka panjang maka hukumnya adalah haram berasaskan hadis nabi saw: لا ضرر ولا ضرار yang bermaksud “jangan kamu melakukan kemudharatan dan mendatangkan kemudharatan” .
Semoga garis panduan yang diberikan dapat membantu saudari membuat keputusannya.
والله أعلم بالصواب
Disediakan oleh:
 
Ustaz Dr Ridzuan Ahmad
Ahli Panel MUIS

Berwudhu tanpa menutup aurat

Assalamualaikum ustaz, apakah hukum mengambil wudhuk tanpa menutup aurat/terselak sebahagian daripada aurat kita semasa mengambil wudhuk? adakah sah hukumnya?

Jawapan:
:الحمدلله رب العالمين والصلاة والسلام علي رسول الله , 
 وبعد

Berwudhu' tanpa menutup aurat adalah sah wudhu'nya. Sekiranya berwudhu' dalam keadaan aurat terbuka secara sengaja di tempat awam dan dilihat oleh bukan mahram, maka ia berdosa kerana mendedahkan auratnya tetapi wudhu'nya tetap sah.
(Rujukan: Fatwa Lujnah Daimah 5/235)
Sekian والله أعلم


Disediakan oleh:
Ustaz Ahmad Zainal Abidin
Setiausaha MUIS

Akibat buruk Condong pada Kejahatan dan Dosa

Akibat Buruk Israaf: Condong pada Kejahatan dan Dosa



Dampak yang akan mengikuti israaf adalah lebih menguatnya dorongan untuk melakukan kemaksiatan atau dosa. Israaf akan memberikan energi yang besar pada diri seseorang. Biasanya eenrgi yang besar tersebut menghendaki penyalurannya yang perwujudannya sangat dikendalikan oleh nafsu syahwati yang bersemanyam di dalam benak.

Seperti yang pernah kita bahas bahwa keinginan-keinginan yang sangat dikendalikan oleh nafsu syahwati, umumnya mengajak kita kepada perilaku maksiat dan dosa.

Rupanya inilah salah satu rahasia hikmah dari anjuran Rasulullah shallahu alaihi wa sallam kepada para pemuda Islam yang belum mampu menikah untuk melakukan puasa agar dirinya dapat mengontrol keadaan nafsu seksualnya. Sabda beliau :

“Hai para pemuda, barangsiapa diantra kalian yang sudah mampu memikul tanggung jawab keluarga menikahlah, karena sesungguhnya hal itu akan dapat menjaga pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu untuk itu hendaklah ia berpuasa, karena puasa merupakan benteng baginya.”(HR Bukhari dan Muslim)

Tidak Mampu Menghadapi Ujian dan Kesulitan

Pengaruh dari sikap israaf yaitu mudah menyerah, tidak mampu atau tidak berdaya saat kita menghadapi suatu ujian atau kesulitan. Orang yang terbiasa hidup mewah dan senang, belum terlatih untuk meghadapi hidup sulit dan berhadapan suatu cobaan. Oleh karenanya, ketika tiba-tiba dia harus menghadapi keadaan tersebut, Allah tidak memberikan pertolongan dan dukungan padanya. Jika sudah demikian, akhirnya ia akan mudah patah semangat, gampang menyerah dalam proses perjuangannya. Kecuali jika ia mampu berjihad (berupaya dengan seluruh kemampuannya) atas dirinya, di samping ia ikhlas dna benar dalam mujahadahnya. Allah berfirman:

لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

“Sesungguhnya Allah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan kepada hati mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al Fath [48] : 18)

Kebekuan Berpikir

Inilah akibat yang berikutnya dari israaf, yaitu menimbulkan kebekuan berpikir. Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas kemampuan berpikir kita itu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu diantranya ialah isi perutnya. Jka perut kosong maka semangat dan kemampuan berpikirnya akan cemerlang. Sebaliknya, jika isi perutnya sarat dengan makanan maka kualitas kemampuan berpikirnya akan tumpul.

Jika perut terisi penuh maka kecerdasan akan terasa jenuh. Dirinya ia akan sulit berlaku hikmah (bijak) serta akan hilang martabat kemanusiaan maupun keunggulan dirinya yang membedakannya dari makhluk-makhluk lainnya.

Hati Menjadi Keras

Pengaruh yang lain dapat terwujud akibat israaf yakni menjadikan hati kita hati kita kering dan keras. Islam mengajarkan bahwasanya manusia itu akan menjadi halus dan lembut mankala dirinya tidak berlebihan dalam makan dan minuman atau dari rasa lapar dan sedikit makan. Hal itu juga merupakan sebuah sunatullah yang berlaku di mana saja dan kapan saja. Firman Allah :

اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَن تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا

“Dan engkau tidak akan mendapati dalam sunatullah itu suatu perubahan.”(QS. Fathir [35] : 43)

Manakala hati telah menjelma menjadi kasar dan mengeras, maka ia tidak akan pernah mampu menundukkan pemiliknya untuk berbakti dan tunduk kepada Allah, apalagi mengecap kenikmatan dan manisnya beribadah.

Kalaupun mereka berusaha mencoba menjalankan suatu kebaikan atau ketaatan beribadah, maka yang terasa baginya hanya hal-hal yang bersifat fisik saja, sementara hal-hal yang bersifat rohaniah sulit mereka peroleh, dan mereka pun tidak pernah mendapatkan pahala apa-apa dari Tuhannya atas ibadahnya itu. Wallahu’alam.

Kahwin Sepupu

Saya Abu (bukan nama sebenar) mempunyai teman wanita bernama Zainab (bukan nama sebenar), dan kami ini adalah sepupu rapat, iaitu ayah kandung saya dan ayah kandung Zainab adalah adik beradik LELAKI. Ayah saya anak pertama, ayah Zainab anak kedua. Persoalannya ialah, bolehkah saya, Abu berkahwin dgn Zainab? (iaitu sepupu sendiri yg memang rapat hubungan keluarga kerana ayah kami berdua adalah adik beradik kandung). Adakah akan muncul masalah wali? Adakah haram kami berkahwin? Kerana ada yang mengatakan kami tidak boleh berkahwin kerana waris kuat? Dan kerana saya boleh menjadi wali kepada Zainab? Dan juga kerana ayah kami berdua adalah adik beradik, maka akan muncul masalah wali, waris dikemudian hari. Saya berharap sangat ustaz dapat membantu saya dengan menjawab persoalan ini. Saya insan yg hina lagi jahil tentang agama, bantulah saya dengan memberi keterangan yang jelas mengenai isu kahwin sepupu ini.




Jawapan:

Wa alaikumussalam. Berkahwin dengan kaum keluarga terdekat yang bukan mahram seperti sepupu dan seumpamanya adalah antara perkara yang dibenarkan oleh Allah swt sebagaimana firman Allah setelah menerangkan wanita-wanita yang diharamkan berkahwin dalam ayat 24 surah al-Nisa’ yang bermaksud: “Dan (sebaliknya) dihalalkan bagi kamu perempuan-perempuan yang lain daripada yang tersebut itu…” Juga firmanNya dalam surah al-Ahzab ayat 50 yang bermaksud: “…dan (Kami telah halalkan bagimu berkahwin dengan sepupu-sepupumu, iaitu): anak-anak perempuan bapa saudaramu (dari sebelah bapa) serta anak-anak perempuan emak saudaramu (dari sebelah bapa), dan anak-anak perempuan bapa saudaramu (dari sebelah ibu) serta anak-anak perempuan emak saudaramu (dari sebelah ibu) yang telah berhijrah bersama-sama denganmu…”

Tiada perselisihan tentang hukum boleh berkahwin dengan mereka, cuma para ulama berselisih pandangan tentang hukum boleh tersebut. Ada yang mengatakan boleh tetapi makruh seperti pandangan mazhab Syafie dan Hanbali. Ada yang mengatakan harus (boleh), seperti pandangan mazhab Maliki dan ada yang mengatakan sunat seperti pandangan mazhab Zahiri.

Pendapat kedua (yang mengatakan hukum berkahwin dengan mereka boleh atau harus) lebih rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil berikut:

1. Firman Allah swt dalam surah al-Nisa’ ayat 3 yang bermaksud: “…maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari kalangan perempuan…”

2. Rasulullah saw sendiri berkahwin dengan sepupu baginda yang bernama Zainab, bahkan baginda sendiri mengahwinkan anak perempuan baginda Umm Kulthum dan Ruqayyah dengan ‘Utbah dan ‘Utaybah yang kedua-duanya adalah sepupu kepada anak-anak perempuan baginda, serta baginda juga mengahwinkan Fatimah dengan Ali (Ali adalah sepupu baginda).

Oleh itu tidak berbangkit masalah wali dan waris jika berlaku perkahwinan di antara sepupu, kerana perkahwinan itu sendiri adalah dibenarkan oleh Allah swt bahkan dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW.

Mungkin ada yang mengatakan perkahwinan dengan keluarga terdekat seperti sepupu akan menyebabkan berlaku kecacatan pada anak yang bakal dilahirkan. Namun dakwaan ini tidaklah boleh diterima secara mutlak, kerana banyak kajian-kajian perubatan yang dijalankan mutakhir ini menunjukkan risiko untuk mendapat anak yang cacat atau mempunyai penyakit warisan hanya pada nisbah 7-8 peratus sahaja bagi suami dan isteri yang terdiri daripada keluarga terdekat, manakala risiko yang sama hanya pada kadar 5 peratus sahaja jika suami dan isteri bukan terdiri daripada keluarga terdekat. Kajian-kajian tersebut membuat kesimpulan bahawa tidaklah boleh untuk menghalang daripada berlakunya perkahwinan di kalangan keluarga terdekat, sebaliknya mereka hendaklah dinasihatkan menjalankan pemeriksaan perubatan terlebih dahulu sebelum melangsungkan perkahwinan bagi mengenal pasti penyakit yang mungkin diperolehi oleh anak yang bakal dilahirkan. Tambahan pula, perkahwinan di antara keluarga terdekat juga turut mempunyai sudut-sudut yang positif, seperti mengekalkan sifat-sifat istimewa tertentu yang terdapat dalam sesebuah keluarga seperti pintar, kuat, cantik dan sebagainya. Pada ketika itu, perkahwinan dengan keluarga terdekat adalah lebih baik daripada perkahwinan dengan orang yang jauh kerana sesuatu keluarga itu akan terus mengekalkan sifat-sifat baik tersebut.

Kesimpulannya, perkahwinan dengan keluarga terdekat seperti sepupu adalah halal dan dibolehkan secara mutlak, dan tidak ada kemudaratan yang berterusan padanya. Tidak mungkin Allah membolehkan sesuatu secara berterusan dan mutlak, kemudian perkara itu mempunyai kemudaratan umum terhadap manusia.

Wallahu a’lam.

Disediakan oleh:

Ustaz Anwar Fakhri Omar
Sekretariat Majlis Ulama ISMA

Hukum membeli barangan cetak rompak




Assalamualaikum ustaz, boleh ke kita gunakan benda-benda yang dicetak semula tanpa kebenaran pengeluar barangan tu. Contohnya macam jual/beli jersi yang tidak original, fotostat buku-buku untuk pelajaran, mahupun untuk tujuan dakwah seperti sebarkan album-album nasyid dalam bentuk MP3 yang didownload di internet kepada orang ramai ataupun sebarkan buku-buku berbentuk PDF tanpa kebenaran pengeluar?

Jawapan:

Pada ketika ini, terdapat dikalangan manusia yang mengaut keuntungan dengan melalui jalan mudah dengan melakukan pengekploitasian ke atas titik peluh dan penat lelah orang lain. Maka begitu juga semakin luas kegiatan cetak rompak dalam pelbagai versi samada melalui photostat, muat turun, salinan semula buku-buku dengan tujuan mengaut keuntungan, memuat turun pelbagai program melalui internet dalam berbagai bentuk sudah menjadi budaya yang sewajarnya difikir dan direnung semula demi kepentingan bersama.

Secara umumnya, permasalahan tentang mencetak semula, photocopy, fotostat, adalah tertakluk kepada undang-undang hakcipta dan harta intelek sepertimana yang telah diiktiraf oleh ulama’- ulama’ kontemporari Islam dalam keputusan Persidangan Fiqh Islam Sedunia ke – 6 di Kuwait pada 1 – 6 Jamadil Awwal 1409 Hijrah.

Resolusi persidangan ini menyatakan bahawa;

"Hak penulisan, hak cipta dan hak kreativiti adalah terpelihara dan dilindungi serta diiktiraf mengikut Syari'at Islam. Hak-hak itu adalah kepunyaan pemilik-pemiliknya dan tidak harus dicerobohi”

Oleh itu, berdasarkan kepada resolusi ini; adalah jelas bahawa tidak harus seseorang itu menjual barangan atau produk cetak rompak kerana ia dianggap sebagai menjual barang milik orang lain tanpa keizinannya. Begitu juga diharamkan bagi kita, membeli barang-barang cetak rompak kerana hukumnya sama seperti kita membeli barangan curi.

Beberapa istilah yang wajar kita teliti, mungkin boleh membantu kita dalam menyelesaikan persoalan ini.

a. Harta

b. Harta Intelek



a). Harta
Fokus yang perlu ditekankan dalam ruang ini adalah berkaitan dengan harta. Sebab itu, Dr. Abu A’ynan Badran menyebutkan bahawa harta ialah sesuatu yang dimilki samada ‘ayn atau manfaatnya[1].

b). Harta Intelek
Norliza Binti Mohamad ( 1999 ) dalam kajiannya bertajuk “ Hakcipta Dari Aspek Teori Harta Intelek Menurut Perpektif Islam” menggariskan Empat elemen asas untuk menilai harta intelek[2].

i. Harta intelek terhasil daripada usaha yang digembelingkan

Harta intelek ini terhasil dari penggembelingan tenaga samada penggunaan akal fikiran, kecerdikan dan tenaga, masa dan ruang yang keseluruhanya terhasil untuk menghasilkan sesuatu output.

ii. Harta intelek mempunyai nilai dan harga.

Ini bermakna sesutau harta intelek apabila dipasarkan, mampu menghasilkan pendapatan dan keuntungan samada dalam bentuk wang ringgit mahupun dalam bentuk urus niaga yang lain sepertimana mu’amalah dalam harta alih dan tidak alih. Keuntungan dan pendapatan ini adalah terhasil daripada usaha dan penggembelingan yang dilakukan oleh seseorang atau mana-mana pihak.

iii. Boleh dikuasai dan dikawal

Harta intelek boleh dikawal dan dikuasai sebagaimana juga harta alih dan tidak alih kerana ia perlu dijadikan dalam bentuk bahan. Disamping itu, dengan pengiktirafan undang-undang bererti pemunya diberi hak mutlak menguasai hasil usaha mereka

Justifikasi sama ada harta itu bernilai dan boleh dimanfaatkan atau tidak ialah terletak pada penilaian syarak. Ini bermakna mana-mana karya yang membawa kepada kebaikan dan kemashlahatan, adalah diterima oleh syarak, sebaliknya karya dan hasil seni yang bertentangan dan membawa kemudharatan, adalah ditentang oleh syarak.

Untuk menjawab persoalan ini, pembacaan kita akan terfokus kepada dua aliran, iaitu

i. Pandangan yang melarang .

Ulama’-ulama’ yang melarang berhujah berdasarkan kepada membeli barang-barang cetak rompak adalah sama seperti membeli barangan curi.

Dr. Yusof al- Qardhawi dalam kitabnya “ Halal Dan Haram Dalam Islam” menyatakan bahawa Islam mengharamkan seorang muslim membeli sesuatu yang sudah diketahui, bahawa barangan tersebut adalah hasil rompakan atau hasil curian, ataupun sesuatu yang telah diambil dari orang lain dengan jalan yang tidak betul. Ini kerana perbuatan tersebut adalah menyamai amalan membantu perompak, pencuri selain ianya melanggar hak-hak orang lain, serta melanggar undang-undang berdasarkan kepada hadith Rasulullah SAW bermaksud:

"Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia mengetahui bahwa barang tersebut adalah curian, maka dia bersekutu dalam dosa yang cacat."(Riwayat Imam al- Baihaqi)

Selain daripada al-Quran menjelaskan sandaran yang cukup kukuh untuk memandu kita dalam menyelesaikan permasalahan ini. Firman Allah SWT:



“ Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu bermaharaja di muka bumi dengan membuat kerosakan”. [ al-Syua’raa :26:183 ]

“ Wahai orang-orang Yang beriman! janganlah kamu mengkhianati (amanah) Allah dan RasulNya, dan (janganlah) kamu mengkhianati amanah-amanah kamu, sedang kamu mengetahui (salahnya)” .{ Surah al-Anfal: 8: 27 }

ii. Pandangan yang Membenar.

Terdapat pandangan Ulama’ yang membenarkan amalan ini dalam ruang-ruang dan syarat-syarat tertentu. Antara syarat-syarat tersebut adalah:

a. Membenarkan amalan ini bagi tujuan pembelajaran sekiranya amat sukar untuk mendapatkan salinan yang asal atau dengan sebab harganya yang terlalu mahal dan tidak mampu dimiliki oleh penuntut ilmu kerana kedudukan kewangan yang tidak mengizinkan. Pandangan ini berdasarkan kepada ayat al- Quran:



“dan tidak ada sebab bagi kamu, (yang menjadikan) kamu tidak mahu makan dari (sembelihan binatang-binatang halal) Yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal Allah telah menerangkan satu persatu kepada kamu apa Yang diharamkanNya atas kamu, kecuali apa Yang kamu terpaksa memakannya? dan Sesungguhnya kebanyakan manusia hendak menyesatkan Dengan hawa nafsu mereka Dengan tidak berdasarkan pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lah Yang lebih mengetahui akan orang-orang Yang melampaui batas.” [ al-An’am: 6:119 ]




“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan kepada kamu memakan bangkai, dan darah, dan daging babi, dan binatang-binatang yang disembelih tidak kerana Allah maka sesiapa terpaksa (memakannya kerana darurat) sedang ia tidak mengingininya dan tidak pula melampaui batas (pada kadar benda Yang dimakan itu), maka tidaklah ia berdosa. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.” [ al-Baqarah: 2: 173 ]

2. Jika pemiliknya memberi kebenaran untuk kegunaan persendirian atau individu dan bukan bagi tujuan dan kegunaan komersil.

Kesimpulan

Membeli/ menjual barangan yang telah di cetak rompak atau membuat salinan barangan tersebut secara tidak sah, hukum asalnya haram, namun begitu beberapa pendapat mengharuskan dengan syarat-syarat tertentu, dan ianya bergantung pada syarat yang telah diberikan.

Sekian Wallahua’lam.

Rujukan:
[1] Badran, Abu al-‘Aynayn Badran ( tt),” al-Syari’ah al-Islamiyyah: Tarikhuna wa Nazariyyat al-Milkiyyah wa al- ‘Uqud” , Iskandariyyah: Muassasah al-Syabab al-Jami’yyah, m.s. 286.

[2] Norliza Binti Mohamad ( 1999 ) “ Hakcipta Dari Aspek Teori Harta Intelek Menurut Perpektif Islam” Disertasi Ijazah Sarjana Bahagian Pengajian Syariah, Akademi Pengajian Islam, UM, Kuala Lumpur m.s.40-41



Disediakan oleh:
Ustaz Shukry Sulaiman
Ahli Panel MUIS

HIDUP ADALAH UJIAN MEMBUAT PILIHAN

“Saya hanya menjalankan apa yang telah Allah tetapkan ke atas saya” kata seorang anak muda.
“Kamu kata Allah yang tetapkan kamu buat dosa itu?” saya bertanya.
Beliau memandang saya. Seperti tidak mampu untuk berkata dengan yakin. Namun masih ‘berani’.
“Ya!” jawab beliau perlahan.
Saya menjegil mata.
“Adoi!” beliau kesakitan.
Pedih dengan cubitan tebal saya di lengannya. Tidak bertanya ‘mengapa’ kerana jelas sekali apa yang bakal saya kata.
“Saya hanya menjalankan ketetapan Allah bahawa saya mencubit kamu!” saya mengulas.
“Cubitlah lagi!” katanya bernada gurau.
“Kali ini saya memilih untuk tidak mencubit. Saya bebas memilih sama ada hendak mencubit atau tidak mencubit” saya membalas.
“Tetapi bukankah di dalam Islam, kita belajar bahawa semua perbuatan kita berada di dalam ilmu Allah?” beliau kebingungan.

“Mungkin inilah akibatnya, tatkala kita terperangkap dalam kekakuan terjemahan. Hingga menimbulkan salah faham yang serius” saya mengulas.
Salah faham tentang Qadha’ dan Qadar, banyak membelenggu kehidupan kita hari ini. Tatkala bertanya akan hal ini kepada tuan guru, katanya Qadha’ dan Qadar itu seperti matahari. Makin direnung dengan mata, makin kabur pandangan dibuatnya. Membiarkan soal Qadha’ dan Qadar ini tidak berjawab ke tahap yang boleh dipegang sebagai suatu keyakinan, adalah musibah yang besar kepada kehidupan seorang Muslim.

Salah satu rukun imannya rapuh. Menunggu rebah.
Kita sering keliru di antara ketetapan Allah ke atas sebab musabbab, dengan ketetapan Allah ke atas perbuatan kita yang merupakan sebuah pilihan.

Renungkan sabda Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam:

Daripada Abu al-’Abbas, Abdullah ibn Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata: Aku pernah duduk di belakang Nabi sallallaahu ‘alayhi wa sallam pada suatu hari, lalu Baginda bersabda kepadaku: Wahai anak! Sesungguhnya aku mahu ajarkan engkau beberapa kalimah: Peliharalah Allah nescaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah nescaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Apabila engkau meminta, maka pintalah dari Allah. Apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan dengan Allah. Ketahuilah bahawa kalau umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikanmu manfaat kecuali dengan suatu perkara yang memang Allah telah tentukan untukmu. Sekiranya mereka berkumpul untuk memudharatkan kamu dengan suatu mudharat, nescaya mereka tidak mampu memudharatkan kamu kecuali dengan suatu perkara yang memang Allah telah tentukannya untukmu. Pena-pena telah diangkatkan dan lembaran-lembaran telah kering (dakwatnya). [Hadis riwayat al-lmam al-Tirmizi nombor 2516. Beliau berkata: la adalah Hadis Hasan Sahih]

Apa yang telah ditetapkan oleh Allah itu adalah apa yang dikenali sebagai Sunnatullah.
Ia bermaksud, segala peraturan sebab musabbab yang menjadi sendi kehidupan di alam ini. Buat ini jadi ini, buat itu jadi itu. Perbuatan dan kesan perbuatan, peraturannya semua telah ditentukan oleh Allah. Itulah yang dikatakan sebagai ILMU ALLAH. Ilmu yang Maha Luas.
ILMU ALLAH ini, yakni Sunnatullah, telah disempurnakan manualnya. Demikianlah ia diungkapkan di dalam Hadith itu sebagai “Pena-pena telah diangkatkan dan lembaran-lembaran telah kering (dakwatnya)“.

Ini juga merupakan maksud firman Allah:
“Maka engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang perubahan bagi Sunnatullah dan engkau tidak sekali-kali akan mendapati sebarang penukaran bagi perjalanan Sunnatullah itu”
[Fathir 35:43]

“Tapi mengapa ada orang makan namun masih tidak kenyang? Atau makan ubat tetapi tidak sembuh?” tanya anak muda itu.
“Ilmu manusia sedikit. Kalau makan ubat, betul dos, maka ilmunya kata dia sepatutnya sembuh. Tetapi ada atau tidak variables lain yang melintasi sebab musabbab makan ubat itu tadi? Misalnya, dia memang makan ubat, tetapi mungkin tahap serapan ubat di dalam perut beliau tidak sama dengan orang lain. Atau dia ada makan sesuatu yang kesannya ‘menawarkan’ kesan ubat yang dimakan. Atau pun dia ada sakit lain yang kontra kepada rawatannya kepada sakit yang satu itu. Ada banyak ‘atau’ di situ yang mungkin tidak mampu dihitung manusia, tetapi SEMUANYA sudah tetap di dalam ILMU ALLAH” saya mengulas panjang.
“Sebab itulah kan, walau sehebat mana sekali pun kita sudah menghitung kebarangkalian, mengenal pasti risiko dan merancang sebaik mungkin, kita masih kena sebut Insya Allah?” tanya beliau meminta kepastian.
“Benar. Sebab ilmu Allah itu luas. Kita hanya nampak seribu cause and effect dan cuba untuk menguasainya. Sedangkan seribu itu hanya secebis daripada lautan cause and effect di dalam ilmu Allah yang telah ditetapkan-Nya. Apa-apa sahaja boleh berlaku. Pilihan kita mungkin terganggu oleh pilihan orang lain yang tiada di dalam ilmu kita. Tetapi macam mana sekali pun bentuk akibat pertembungan pilihan kita dengan pilihan orang lain itu, ia masih dalam kerangka cause and effect yang telah ditetapkan Allah sebagai hukum alam” saya menyambung cerita.


BELAJAR TENTANG SUNNATULLAH
“Macam mana kita nak belajar tentang Sunnatullah itu?” soal beliau.
“Sunnatullah ini ada yang alam dengan alam. Ada yang alam dengan manusia. Ada yang manusia dengan manusia. Ada yang seorang manusia dengan dirinya sendiri. Jadi sebahagian daripada Sunnatullah ini kita belajar di dalam biologi, fizik, kimia, geografi, matematik, malah juga sejarah, psikologi, komunikasi dan sebagainya” saya cuba menjawab dan menjelaskan fikiran saya sendiri, yang turut dikongsi bersama rakan ini.
“Habis tu, kalau semua Sunnatullah itu kita belajar dalam Sains serta cabang-cabangnya, ilmu agama pula untuk apa?” tanya anak muda itu lagi.
“Maksud anta, Syariatullah?” saya meminta kepastian.
“Ya. Syariatullah. Yang ustaz selalu sebut dalam ceramah itu” tegas beliau.



BELAJAR TENTANG SYARIATULLAH
“Kita dituntut belajar tentang Sunnatullah supaya kita faham bagaimana Allah mensistemkan alam dan kehidupan ini. Dari situlah kita dituntut supaya hidup dengan mematuhi sistem Allah ke atas alam dan kehidupan ini. Itulah ujian kehidupan. Kita diuji, sama ada nak susun hidup ikut peraturan kehidupan yang Allah telah tetapkan atau tidak. Dan oleh kerana cause and effectatau Sunnatullah yang Allah tetapkan itu Maha Luas hingga banyak yang tidak sampai di akal manusia, apakah akibatnya jika memilih satu-satu pilihan dalam hidup ini, maka di situlah peranan Syariatullah. Peraturan yang disebut sebagai peraturan agama, diberikan oleh Allah sebagai pembimbing kepada manusia untuk membuat pilihan yang betul” saya menyambung.

“Agama menampung kejahilan manusia tentang akibat pilihan yang salah?” tanya beliau.
“Benar. Ada sesetengah perintah, kita tahu kesan baik buruknya. Disebut sebagai hikmah kepada perbuatan, jika di dalam bahasa ilmu agama. Tetapi banyak juga benda yang kita belum jelas akibatnya. Misalnya bab makan babi. Lebih mudah dan kuat jika kita patuh kepada perintah Allah yang melarang babi itu tanpa pening nak fikir kenapa. Tetapi dengan kajian-kajian manusia, semakin banyaklah nampak keburukan memakan babi tersebut. Sama juga dengan riba. Awal-awal mungkin tak nampak mudarat riba, dek lemahnya ilmu manusia yang hanya nampak apa yang mampu dicapai oleh pancaindera. Tetapi sebagai orang yang patuh Syariat Allah, kita menolak riba sebelum dapat dilihat mudarat riba sebab kita yakin, apabila melalui wahyu Allah mengharamkan sesuatu, pasti ia haram kerana akibatnya adalah buruk dan mudarat ke atas manusia. Dan dengan kajian demi kajian, semakin jelas mengapa riba itu haram” saya menambah.
Beliau termenung.



MAKSIAT PILIHAN SIAPA?
“Jadi, maksiat yang anta buat tu, anta buat ke atau Allah buat? Adakah Allah yang gerakkan tangan anta untuk buat maksiat atau anta yang memilih untuk menggerakkan tangan anta ke arah maksiat?” saya berpatah balik ke persoalan asal.
“Ia pilihan saya. Saya yang bersalah!” katanya lemah.
“Maknanya Allah tak tahu ke apa yang saya bakal pilih?” soal beliau. Terbeliak matanya.
“Soalnya bukan Allah tahu atau tidak tahu sebab pilihan anta belum wujud. Anta belum mewujudkannya dengan pilihan anta sendiri. Tetapi apa sahaja yang bakal anta pilih, ia tidak dapat lari daripada cause and effect yang telah Allah tetapkan. Itu maksudnya apa sahaja pilihan anta, ia tetap di dalam ilmu Allah. Namun apabila anta memilih A, bukanlah Allah yang memilih bagi pihak anta. Anta yang pilih. Anta yang mencipta pilihan itu di dalam lingkungan ilmu Allah, yakni cause and effect yang telah Allah tetapkan. Akibat perbuatan itu mungkin tiada di dalam ilmu anta, tetapi ia sudah ada di dalam variables Qadha’ dan Qadar Allah pada cause and effect yang saya sebutkan tadi” saya cuba melangsaikan perbualan.
“Maknanya, salah sayalah atas semua pilihan yang saya sendiri buat?” tanya beliau, meminta kepastian lagi.

“Ya. Dan itulah hakikat kehidupan ini. Kita diuji dengan pilihan. Syariatullah diberi sebagai panduan untuk memilih pilihan yang betul di dalam lautan Sunnatullah yang telah Allah install di dalam kehidupan ini” saya menutup perbualan.
“Terima kasih ustaz!” balas anak muda tersebut.
“Kepada Allah juga segala puji dan puja” saya bersalam.
Hidup adalah ujian membuat pilihan.
Hidup berpandukan Syariatullah.
Hidup berpandukan Sunnatullah.

Saifulislam.blogspot.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...